Penemuan
Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada
tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, direktur
Museum Zoologi di Bogor, menerbitkan paper tentang komodo setelah menerima
foto dan kulit reptil ini.Nantinya, komodo adalah faktor pendorong dilakukannya
ekspedisi ke pulau Komodo oleh W. Douglas Burden pada tahun 1926.
image by. |
Setelah kembali dengan 12 spesimen yang diawetkan dan 2 ekor komodo hidup,
ekspedisi ini memberikan inspirasi untuk film King Kong tahun 1933.W.
Douglas Burden adalah orang yang pertama memberikan nama "Komodo
dragon" kepada hewan ini.Tiga dari spesimen komodo yang diperolehnya
dibentuk kembali menjadi hewan pajangan dan hingga kini masih disimpan di Museum
Sejarah Alam Amerika.
Penelitian
Orang Belanda, karena menyadari berkurangnya jumlah hewan
ini di alam bebas, melarang perburuan komodo dan membatasi jumlah hewan yang
diambil untuk penelitian ilmiah. Ekspedisi komodo terhenti semasa Perang
Dunia II, dan tak dilanjutkan sampai dengan tahun 1950an dan ‘60an tatkala
dilakukan penelitian-penelitian terhadap perilaku makan, reproduksi dan
temperatur tubuh komodo.
Pada tahun-tahun itu, sebuah ekspedisi yang lain
dirancang untuk meneliti komodo dalam jangka panjang. Tugas ini jatuh ke tangan
keluarga Auffenberg, yang kemudian tinggal selama 11 bulan di Pulau Komodo pada
tahun 1969. Selama masa itu, Walter Auffenberg dan Putra Sastrawan sebagai
asistennya, berhasil menangkap dan menandai lebih dari 50 ekor komodo.Hasil
ekspedisi ini ternyata sangat berpengaruh terhadap meningkatnya penangkaran
komodo.
Penelitian-penelitian yang berikutnya kemudian memberikan gambaran yang
lebih terang dan jelas mengenai sifat-sifat alami komodo, sehingga para biolog
seperti halnya Claudio Ciofi dapat melanjutkan kajian yang lebih mendalam.
Konservasi
Biawak komodo merupakan spesies yang rentan terhadap
kepunahan, dan dikatagorikan sebagai spesies Rentan dalam daftar IUCN Red
List. Sekitar 4.000–5.000 ekor komodo diperkirakan masih hidup di alam liar.
Populasi ini terbatas menyebar di pulau-pulau Rinca (1.300 ekor), Gili Motang
(100), Gili Dasami (100), Komodo (1.700), dan Flores (mungkin sekitar 2.000
ekor).
Meski demikian, ada keprihatinan mengenai populasi ini karena
diperkirakan dari semuanya itu hanya tinggal 350 ekor betina yang produktif dan
dapat berbiak.[3] Bertolak dari kekhawatiran ini, pada tahun 1980
Pemerintah Indonesia menetapkan berdirinya Taman Nasional Komodo untuk
melindungi populasi komodo dan ekosistemnya di beberapa pulau termasuk Komodo,
Rinca, dan Padar.
Belakangan ditetapkan pula Cagar Alam Wae Wuul dan Wolo Tado
di Pulau Flores untuk membantu pelestarian komodo. Namun pada sisi yang lain,
ada bukti-bukti yang menunjukkan bahwa komodo, setidaknya sebagian, telah
terbiasa pada kehadiran manusia.
Komodo-komodo ini terbiasa diberi makan karkas
hewan ternak, sebagai atraksi untuk menarik turis pada beberapa lokasi
kunjungan.
Aktivitas vulkanis, gempa bumi, kerusakan habitat,
kebakaran (populasi komodo di Pulau Padar hampir punah karena kebakaran alami),berkurangnya
mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap; semuanya menyumbang pada
status rentan yang disandang komodo. CITES (the Convention
on International Trade in Endangered Species) telah menetapkan bahwa
perdagangan komodo, kulitnya, dan produk-produk lain dari hewan ini adalah
ilegal.
Meskipun jarang terjadi, komodo diketahui dapat membunuh
manusia. Pada tanggal 4 Juni 2007, seekor komodo diketahui menyerang seorang
anak laki-laki berumur delapan tahun. Anak ini kemudian meninggal karena
perdarahan berat dari luka-lukanya. Ini adalah catatan pertama mengenai
serangan yang berakibat kematian pada 33 tahun terakhir.
Penangkaran.
Telah semenjak lama komodo menjadi tontonan yang menarik di
berbagai kebun binatang, terutama karena ukuran tubuh dan reputasinya yang
membuatnya begitu populer. Meski demikian hewan ini jarang dipunyai kebun
binatang, karena komodo rentan terhadap infeksi dan penyakit akibat parasit,
serta tak mudah berkembang biak.
Komodo yang pertama dipertontonkan adalah pada Kebun
Binatang Smithsonian pada tahun 1934, namun hewan ini hanya bertahan hidup
selama dua tahun. Upaya-upaya untuk memelihara reptil ini terus dilanjutkan,
namun usia binatang ini dalam tangkaran tak begitu panjang, rata-rata hanya 5
tahun di kebun binatang tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Walter
Auffenberg di atas, yang hasilnya kemudian diterbitkan sebagai buku The
Behavioral Ecology of the Komodo Monitor, pada akhirnya memungkinkan
pemeliharaan dan pembiakan satwa langka ini di penangkaran.
Telah teramati bahwa banyak individu komodo yang dipelihara
memperlihatkan perilaku yang jinak untuk jangka waktu tertentu. Dilaporkan pada
banyak kali kejadian, bahwa para pawang berhasil membawa keluar komodo dari
kandangnya untuk berinteraksi dengan pengunjung, termasuk pula anak-anak di
antaranya, tanpa akibat yang membahayakan pengunjung.
Komodo agaknya dapat
mengenali orang satu persatu. Ruston Hartdegen dari Kebun Binatang Dallas melaporkan
bahwa komodo-komodo yang dipeliharanya bereaksi berbeda apabila berhadapan
dengan pawang yang biasa memeliharanya, dengan pawang lain yang kurang lebih
sudah dikenal, atau dengan pawang yang sama sekali belum dikenal.
Penelitian terhadap komodo peliharaan membuktikan bahwa
hewan ini senang bermain. Suatu kajian mengenai komodo yang mau mendorong sekop
yang ditinggalkan oleh pawangnya, nyata-nyata memperlihatkan bahwa hewan itu
tertarik pada suara yang ditimbulkan sekop ketika menggeser sepanjang permukaan
yang berbatu.
Seekor komodo betina muda di Kebun Binatang Nasional di Washington,
D.C. senang meraih dan mengguncangkan aneka benda termasuk patung-patung,
kaleng-kaleng minuman, lingkaran plastik, dan selimut. Komodo ini pun senang
memasuk-masukkan kepalanya ke dalam kotak, sepatu, dan aneka obyek lainnya.
Komodo tersebut bukan tak bisa membedakan benda-benda tadi dengan makanan; ia
baru memakannya apabila benda-benda tadi dilumuri dengan darah tikus. Perilaku
bermain-main ini dapat diperbandingkan dengan perilaku bermain mamalia.
Catatan lain mengenai kesenangan bermain komodo didapat dari
Universitas Tennessee. Seekor komodo muda yang diberi nama
"Kraken" bermain dengan gelang-gelang plastik, sepatu, ember, dan
kaleng, dengan cara mendorongnya, memukul-mukulnya, dan membawanya dengan
mulutnya.
Kraken memperlakukan benda-benda itu berbeda dengan apa yang menjadi
makanannya, mendorong Gordon Burghardt –peneliti– menyimpulkan bahwa
hewan-hewan ini telah mementahkan pandangan bahwa permainan semacam itu adalah
“perilaku predator bermotif-pemangsaan”.
Komodo yang nampak jinak sekalipun dapat berperilaku agresif
secara tak terduga, khususnya apabila teritorinya dilanggar oleh seseorang yang
tak dikenalnya. Pada bulan Juni 2001, serangan seekor komodo menimbulkan
luka-luka serius pada Phil Bronstein—editor eksekutif harian San Francisco
Chronicle dan bekas suami Sharon Stone, seorang aktris Amerika
terkenal—ketika ia memasuki kandang binatang itu atas undangan pawangnya.
Bronstein digigit komodo itu di kakinya yang telanjang, setelah si pawang
menyarankannya agar membuka sepatu putihnya, yang dikhawatirkan bisa memancing
perhatian si komodo. Meski pria itu berhasil lolos, namun ia membutuhkan
pembedahan untuk menyambung kembali tendon ototnya yang terluka.
sumber : wikipedia
Title : Komodo dan Perlakuan Manusia
Description : Penemuan Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, d...
Description : Penemuan Komodo pertama kali didokumentasikan oleh orang Eropa pada tahun 1910. Namanya meluas setelah tahun 1912, ketika Peter Ouwens, d...
0 Response to "Komodo dan Perlakuan Manusia"
Post a Comment